Wednesday, January 29, 2014

OBJEK WISATA KOTA PALEMBANG

- Benteng Kuto Besak
Lokasi : Pinggiran Ilir Sungai Musi

Benteng ini dibangun selama 17 tahun (1780-1797 M). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu, benteng yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak (BKB) ini dibangun di atas ?pulau?. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai. Yaitu, Sungai Kapuran (kini, alirannya
merupakan bagian Jl. Merdeka, setelah ditimbun Pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an) di bagian utara; Sungai Musi di bagian utara; Sungai Sekanak di bagian barat; dan Sungai Tengkuruk di bagian timur. Seperti halnya Sungai Kapuran, Sungai Tengkuruk juga ditimbun Belanda pada awal 1930-an dan dijadikan sebagai jalan. Lokasi jalan, yang kemudian dikenal sebagai Jl. Tengkuruk ini (kini menjadi landasan Jembatan Ampera dan sebagian lagi menjadi Jl. Jenderal Sudirman (sebelumnya, Jl. Talang Jawa), ini sempat berfungsi sebagai boulevard. Pada masa Palembang berbentuk Gementee (Kotapraja), Boulevard Tengkuruk ini dijadikan sebagai bagian dari rute pawai atau karnaval even tertentu Kerajaan Belanda, antara lain hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. BKB, yang mulai difungsikan secara resmi pada Senin, 23 Sya?ban 1211 H (21 Februari 1797 M), ini dibangun oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803 M). Pembangunannya dimu-lai pada Ahad, 15 Jumadil Awal 1193 H (1779 M). Pembangunan benteng ?ter-masuk keraton??baru? ini merupakan kelanjutan dari gagasan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M). Pendiri Masjid Agung (pada masa itu disebut sebagai Masjid Sulton) itu adalah kakek Sultan Muhammad Bahauddin. Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen (batu kapur serta bubuk tumbukan kulit kerang). Konon, sebagai bahan penguat tambahan, digunakan pula putih telur dan rebusan tulang
serta kulit sapi dan kerbau. Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar 180 meter, dan tinggi 6,60 meter-7,20 meter. Di keempat sudutnya, terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Meriamyang terdapat di keempat sudut benteng inilah yang dipakai untuk menghalau tentara dan menghancurkan armada Belanda pada Perang Palembang I tahun 1819 (Perang Menteng) dan Perang Palembang II tahun 1819. Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki pintu empat pintu. Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai Sekanak.



- Museum SMB II
Lokasi : Samping Jembatan Ampera di bagian Ilir

Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo, dibangun seiring dengan pembangunan Masjid Agung Palembang. Saat kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam dipegang Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M), muncul ide untuk membangun masjid baru Sebelumnya, Keraton Palembang yang dibangun Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukmin Sayyidul Imam (1659-1706 M) terletak di kawasan Beringin Janggut (kini kompleks pertokoan Beringin Janggut). Masjid kesultanan pun terletak tidak jauh dari keraton, yaitu di kawasan yang kini dikenal sebagai Jl. Masjid Lama. SMB I membangun Masjid Sulton (kini Masjid Agung SMB II) pada 1 Jumadil Akhir 1511 H dan diresmikan pemakaiannya pada 28 Jumadil Awal 1161 H. Keraton Kuto Lamo (pada saat dibangun, tentu belum bernama demikian) ini dibangun persis di tepi Sungai Tengkuruk dan berjarak sekitar 100 meter dari Masjid Sulton. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821 M), yang berganti-ganti kekuasaan dengan saudaranya, Sultan Husin Diauddin (1812-1813 M) serta Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (putra SMB II, 1819-1821 M) seiring masuknya pengaruh Belanda dan Inggris, benteng ini sempat ditempati pasukan Belanda. Menjelang Perang Palembang I tahun 1819, Pemerintah Hindia Belanda mendaratkan pasukannya sebanyak 200 orang di Palembang dan menempatkannya di Keraton Kuto Lamo. Saat perang hari pertama meletus, 11 Juni 1819, tentara Belanda itu ditembaki dan dihalau hingga lari ke kapal-kapal yang berada di Sungai Musi depan BKB. Pada perang ini, dari sekitar 500 tentara Belanda, yang tersisa dan selamat sekitar 350 orang. Begitu SMB II menyerah dan ditangkap pada Perang Palembang III tahun 1821 sehingga bersama keluarganya, dia dibuang ke Ternate, pasukan Belanda melakukan perampasan, perusakan, pembongkaran dan penghancuran terhadap aset kesultanan. Termasuk, bangunan yang ada di Benteng Kuto Lamo. Bahkan, pembongkaran yang dilakukan terhadap rumah limas para Pangeran serta bangunan lain hingga ke halaman Masjid Sulton itu, dilakukan pula terhadap fondasi Keraton hingga sedalam 3 meter. Pada tahun 1823, seiring penghapusan kekuasaan Sultan Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M), Belanda mulai melakukan pembangunan di bekas tapak Benteng Kuto Lamo secara bertahap. Rumah yang dibangun ini rencananya diperuntukkan bagi Komisaris Kerajaan Belanda di Palembang. Yaitu, Yohan Isaac van Sevenhoven, seorang advokat fiskal, yang menggantikan posisi Herman Warner Muntinghe. Muntinghe menjadi Komisaris di Palembang selama November 1821-Desember 1823. Pada tahun 1824, tahap pertama rumah ?dikenal sebagai Gedung Siput?itu selesai dibangun. Setelah itu, bagian bangunan terus dilakukan penambahan.


- Jembatan Ampera
Lokasi : Di atas Sungai Musi

Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ?Seberang Ulu dan Seberang Ilir? dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, ?proyek? itu tidak pernah terealisasi. Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan ?kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya?pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergo-long nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang ?yang akan dijadikan modal awal? hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk ?panitia? pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu. Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00). Biaya ini akan dihitung dari pampasan (kompensasi) perang Jepang. Proyek Musi ?hingga akhir tahun 1970-an, warga Palembang menyebut Jembatan Ampera sebagai Proyek Musi?ini mulai dibangun April 1962 dan selesai pada Mei 1965. Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air ?11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik?itu dapat diangkat ketika akan dilalui kapal. Saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton ini, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik.


- Masjid Agung
Lokasi : Pusat Kota

Mahmud Badaruddin I (Jayo Wikramo) meletakan batu pertama pendiri Mesjid Agung pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (=1738 M). Bangunan ini berdiri dibelakang Kuto besak, Istana Sultan yang dulunya terletak disuatu Pulau yang dikelilingi oleh Sungai Musi, Sungai Sekanak, Sungai Tengkuruk, dan Sungai Kapuran Bangunan Masjid Pertama kali berukuran hampir berbentuk Persegi empat yaitu 30 x 36 m. Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali dibagian barat yang merupakan mihrab. Atapnya berbentuk atap tumpung, terdiri dari tiga tingkat yang melambangkan filosofi keagamaan, atap berundak adalah pengaruh dari candi. Bahan-bahan yang dupergunakan adalah bahan kelas satu eks impor dari Eropa. arsitek Masjid orang sedangkan tenaga tehnis dilapangan adalah orang-orang china. sulitnya mendatangkan material bangunan, maka pekerjaan ini cukup lama dan Masjid Baru dapat di resmikan pada Tanggal 28 Jumadil awal 1161 H atau 26 Mei 1748 M. Pada awalnya Masjid ini tidak mempunyai menara, barulah pada Tahun 1753 di buat menara yang beratap genteng dan tahun 1821 ber ganti atap sirap dan penambahan tinggi menara yang dilengkapi dengan beranda lingkar. Setelah 100 tahun lebih berdirinya masjid yaitu tahun 1848 diadakan rencana perluasan oleh Pemerintah Kolonial sebelum perluasan diadakan perubahan bentuk gerbang serambi masuk dari bentuk tradisional menjadi bentuk Doric. Pada tahun 1879 telah diadakan perunbahan masjid, perluasan bentuk gerbang serambi masuk di bongkar ditambanh serambi yang terbuka dengan tiang benton bulat sehingga bentuknya seperti Pendopo atau seperti gaya banguan kolonial ini adalah perluasan pertama dan penambahan rancangan dan tahun 1874 dilaporan bentuk menara beruba dari aslinya dan tahun 1916 menara ini disempurnakan lagi. Pada tahun 1930 diadakan perubahan yaitu menambah jarak pilar menjadi 4 m dari atap. sSetelah kemerdekaan tahun 1952 dilakukan perluasan ketiga dengan bentuk yang tidak lagi harmonis dengan aslinya dengan ditambah kubah. pengurus yayasan masjid agung 1966 -1979 meneruskan penambahan ruangan dengan menambah bangunan lantai 2 yang selesai tahun 1969. Pada tanggal 22 januari 1970 dimulai Pembanguan menara baru dengan tinggi 45 meter, bersegi 12 yang dibiayai Pertamina dan di resmikan pada Tanggal 1 Februari 1971. Sejak tahun 2000 Masjid ini di renovasi dan selesai pada tanggal 16 Juni 2003 yang diresmikan oleh Presiden RI Hj. Megawati Soekarno Putri, Masjid ini terletak di Pusat Kota Palembang.


- Rumah Limas
Lokasi : Jl. Demang Lebar Daun

Rumah Limasmerupakan prototype rumah tradisional Palembang, selain ditandai denagn atapnya yang berbentuk limas, rumah limas ini memiliki ciri-ciri; - Atapnya berbentuk Limas - Badan rumah berdinding papan, dengan pembagian ruangan yang telah ditetapkan (standard) bertingkat-tingkat.(Kijing) - Keseluruhan atap dan dinding serta lantai rumah bertopang di atas tiang-tiang yang tertanam di tanah - Mempunyai ornamen dan ukiran yang menampilkan kharisma dan identitas rumah tersebut Kebanyakan rumah Limas luasnya mencapai 400 sampai 1.000 meter persegi atau lebih, yang didirikan di atas tiang-tiang kayu Onglen dan untuk rangka digunakan kayu tembesu Pengaruh Islam nampak pada ornamen maupun ukiran yang terdapat pada rumah limas. Simbas (Platy Cerium Coronarium) menjadi symbol utama dalam ukiran tersebut. Filosofi tempat tertinggi adalah suci dan terhormat terdapat pada arsitektur rumah limas. Ruang utama dianggap terhormat adalh ruang gajah(bahasa kawi= balairung)terletak ditingkat teratas dan tepat di bawah atap limas yang di topang oleh Alang Sunan dan Sako Sunan. Diruang gajah terdapat Amben (Balai/tempat Musyawarah) yang terletak tinggi dari ruang gajah (+/- 75 cm). Ruangan ini merupakan pusat dari Rumah Limas baik untuk adat, kehidupan serta dekorasi. sebagai pembatas ruang terdapat lemari yang dihiasi sehingga show/etlege dari kekayaan pemiliki rumah. Pangkeng (bilik tidur) terdapat dinding rumah, baik dikanan maupun dikiri. Untuk memasuki bilik atau Pangkeng ini, kita harus melalui dampar (kotak) yang terletak di pintu yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Pada ruang belakang dari segala terdapat pawon (dapur) yang lantainya sama tingkat dengan lantai Gegajah tetapi tidak lagi dibawah naungan atap pisang sesisir. Dengan bentuk ruangan dan lantai berkijing-kijing tersebut, maka rumah Limas adalah rumah secara alami mengatur keprotokolan yang rapi, tempat duduk para tamu disaat sedekah sudah ditentukan berdasarkan status tersebut di masyarakat.

MASIH DALAM PENGEMBANGAN >>>

No comments: